Misionaris sejati merintis jemaat—Benar atau Salah? Ini Adalah pertanyaan yang menimbulkan diskusi misiologis! Benar—berdasarkan banyak kelompok misi yang mengambil keputusan tentang siapa yang menerima dukungan finansial dari jemaat mereka. Salah—berdasarkan banyak individu dan organiasi yang terlibat dalam kegiatan yang luar biasa beragam yang termotivasi oleh kasih mereka pada Kristus dan kasih mereka pada mereka yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya. Jadi, bagaimana seorang guru misionaris yang memiliki 27 tahun pengalaman dalam misi yang terkenal sebagai penginjilan menjawab pertanyaan ini? Yaitu dengan pertanyaan lain! Apa yang ada di benak kita ketika kita mengatakan “merintis jemaat?”
Apakah itu perintisan jemaat?
Ketika kita menggunakan istilah “perintisan jemaat,” kita biasanya memiliki kegiatan jenis tertentu di benak kita, termasuk penginjilan masal, penginjilan pribadi, follow-up pribadi, pembentukan kelompok kecil, dan organisasi jemaat. Penginjilan adalah fokusnya, gereja adalah hasilnya, dan perintis jemaat secara langsung terlibat dalam mendirikan jemaat baru.
Gambaran merintis/menanam yang diasumsikan adalah gambaran seorang penabur menaburkan benih dan menanam apa yang tumbuh. Benih Firman Tuhan ditaburkan lalu gereja bertumbuh. Yesus sendiri juga menceritakan perumpamaan tentang penabur. Tetapi Alkitab juga menyebut gereja sebagai mempelai, tubuh, atau bangunan. Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan makna-makna lain dari kata “menanam/merintis.”
Apa yang akan terjadi jika kepada misi jika titik berat ada pada “bertahan di posisi” atau “memastikan dalam pikiran” (American Heritage Dictionary)? Apakah respon kita terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mendesak akan menjadi lebih strategis? Kita dapat dengan antusias membuat laporan mengenai berapa banyak benih yang telah ditabur tanpa mempertimbangkan berapa banyak yang jatuh di jalan, di tanah berbatu, atau semak duri. Kita dapat bersemangat melihat benih-benih yang tumbuh kecil meskipun mereka tidak pernah menjadi matang. Saya tahu bahwa saya ingin hasilnya sekarang—dalam hidup saya maupun dalam hidup ornag lain—tetapi Allah kita yang kekal sering kali bekerja dengan jadwal yang berbeda.
Bayangkan sebuah Negara di mana sepertiga anak-anaknya bersekolah di sekolah swasta yang mengajar mereka menghubungkan iman mereka dengan seluruh kehidupan. Ribuan sekolah kecil menyediakan pendidikan gratis, rumah gratis dan makanan gratis untuk anak-anak miskin yang tidak punya harapan dalam sistem sekolah umum yang penuh perjuangan. Sekolah-sekolah yang memiliki dana besar memberikan kesempatan untuk melatih pemimpin-pemimpin dalam komunitas dan bangsa mereka. Bayangkan perbedaan yang akan dibuat oleh sistem seperti itu di saat banyak orang percaya dari Negara lain memberikan sumber daya mereka untuk menolong membuat perbedaan bagi orang-orang yang membutuhkan. Banyak kehidupan akan diubahkan secara kekal oleh guru-guru yang membagikan pemahaman mereka tentang sifat dan cara kerja Allah.
Mungkinkah ini terjadi? Apakah mungkin di dunia sekuler ini untuk membayangkan sistem seperti itu membawa dampak bagi banyak orang? Hal ini sedang terjadi hari ini di madrasah (sekolah religius) di Pakistan di mana seluruh generasi anak-anak dan pemuda diajar Alqur’an dan prinsip-prinsip Islam. Dunia Muslim telah diubah melalui satu generasi saja oleh sekolah-sekolah Islam ketika dalam waktu yang sama misi Kekristenan sedang menarik diri dari bidang pendidikan.
Gereja Katolik Roma telah menunjukkan selama berabad-abad kuasa sistem pendidikan untuk membentuk pemikiran seluruh bangsa. Sekolah-sekolah mereka begitu menarik sehingga bahkan para misionaris Protestan di banyak negara memasukkan anak-anak mereka sendiri ke sekolah Katolik Roma. Mengapakah kita menyerahkan bidang pendidikan kepada orang lain?
Bagaimanapun, lebih penting daripada contoh-contoh dari orang lain adalah perintah Kristus sendiri. Dia menginvestasikan tiga tahun pelayanan aktifnya pada sekelompok manusia yang meragukan dan kata-kata akhir-Nya adalah agar mereka mengulangi proses tersebut (Yohanes 20:21). Dalam Amanat Agung (Matius 28:18-20), Yesus memberitahu murid-murid-Nya untuk pergi dan menjadikan orang-orang murid-Nya, bukan menjadikan orang-orang berpindah agama. Kita banyak bicara tentang penginjilan, tetapi Yesus mengasumsikannya, dan bicara mengenai mengajar. Kita harus mengajarkan segala hal yang diperintahkan Kristus, tetapi tidak terbatas hanya kepada perkataan Yesus. Jika kita percaya bahwa Yesus adalah pencipta segala sesuatu (Kolose 1:15-16), maka perintah-Nya untuk bertanggung jawab kepada seluruh dunia dan isinya (Kejadian 1:28-30) juga perlu dijadikan. Saya tahu ini pemikiran yang radikal dan baru ketika saya menyadari bahwa Alkitab mengatakan sesuatu tentang segala hal. Saya adalah bagian dari gereja yang besar, saya “menikmati” persekutuan keluarga yang rutin, dan saya lulus dari sekolah Alkitab. Namun saya tidak pernah diajari bahwa Tuhan ada hubungannya dengan fisika, kimia, dan matematika yang saya pelajari.
Sayang sekali sangat mudah bagi kita untuk tidak sengaja mengkomunikasikan bahwa Yesus adalah Juru Selamat dan penting ketika kita berurusan dengan hal-hal “spiritual,” tetapi Dia tidak relevan ketika kita berurusan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan Alkitab. Lalu menjadi sulit bagi orang-orang untuk menerima Yesus sebagai Tuhan karena Dia tidak ada hubungannya dengan sebagian besar kehidupan kita, yaitu dunia fisik ini. Dengan mengajarkan segala hal yang tidak Alkitabiah kepada siapapun, dan mengabaikan kesempatan untuk membentuk persepsi anak tentang dunia Allah di sekolah, pemikiran dualisme sedang dikembangkan. Tidak heran begitu banyak orang yang berpikir bahwa hidup Kekristenan itu seperti balon spiritual. Pada awalnya kecil namun diisi terus oleh Roh Kudus melalui pemimpin Kristen dan renungan pribadi. Ia akan terus mengisi hidup, tetapi tetap terpisah dari segala hal yang lain—kecuali keadaan menusuk dan membuat balon itu meletus. Lalu semuanya akan meletus dan orang tersebut tidak memiliki apa-apa lagi. Jemaat yang dirintis di antara orang-orang yang memiliki perspektif yang suci/sekuler jelas lebih lemah daripada mereka yang dibangun di antara orang-orang yang diajar untuk memiliki pemikiran yang lebih lengkap dan terintegrasi. Mereka memahami bahwa Alkitab perlu menembus semua bidang seperti oksiten—elemen penting yang adalah bagian dari atmosfer dan segala hal.
Mengapa begitu sedikit orang Kristen yang membawa dampak bagi dunia mereka? Salah satu alasan mungkin adalah bahwa di tempat-tempat yang saya kunjungi di Amerika Utara dan Eropa, gereja seringkali memandang sekolah Kristen sebagai pesaing dan bukan rekan. Terlalu banyak orang Kristen tampaknya mengadopsi perspektif bahwa semua orang dapat mengajar membaca, menulis, dan aritmatika kepada anak-anak asalkan mereka adalah orang Kristen yang mengajar beberapa menit tiap minggu di Sekolah Minggu atau mereka adalah orang tua yang mengadakan persekutuan keluarga secara rutin. Makin banyak orang tua yang melakukan home school bagi anak-anaknya, tetapi bagi banyak orang hal ini tidak praktis atau terlalu radikal. Faktanya, banyak orang Kristen berjalan dengan asumsi bahwa tanggung jawab memberikan pendidikan dasar ada di orang tua. Mereka puas jika mereka memiliki kesempatan untuk berdoa di sekolah di luar kelas, memiliki kelompok anak muda, atau membagikan Alkitab kepada murid-murid. Kelas agama beberapa kali seminggu atau Sekolah Minggu diharapkan mampu melawan dampak dari guru-guru yang tidak takut akan Tuhan di keseluruhan sistem sekolah. Guru cakap yang mengabaikan Allah diterima di sekolah nasional karena kompetensi mereka, meskipun keseluruhan hidupnya mengkomunikasikan bahwa Allah tidak penting untuk mencapai kesuksesan. Tidak heran begitu banyak orang Kristen yang mengecilkan Allah, di pojok kecil pribadi hidup kita dan kita sering sekali mengabaikan-Nya.
Guru-guru Kristen di sistem public tidak diberi training atau dukungan khusus meskipun setiap hari mereka melewatkan berjam-jam memberi masukan kepada hidup anak-anak dan para pemuda. Pendeta muda membutuhkan pelatihan seminari supaya mereka dapat memaksimalkan dampak renungan yang dapat mereka bawakan untuk menarik anak muda, sementara seorang guru bahkan tidak melakukan pendalaman Alkitab secara khusus untuk menolong mereka bertahan dalam tuntutan sistem di mana mereka bekerja dan bertahan dalam kebutuhan bagi para murid. Misionaris membutuhkan gelar lebih lanjut dan pelatihan khusus dalam komunikasi lintas budaya supaya mereka dapat mengabarkan Injil dengan efektif. Namun guru Kristen di sekolah non-Kristen tidak memiliki pelatihan khusus untuk menolong mereka mengomunikasikan kebenaran. Budaya dan bahasa sekolah seringkali sangat berbeda dari apa yang dialami di gereja lokal. Lingkungan paling tidak sama sulitnya dengan kesulitan yang dihadapi kebanyakan misionari. Di manakah misiologis ruang kelas diajarkan?
Sekolah Misionaris hanya bagi Anak Misionaris?
Guru-guru dan sekolah-sekolah misionaris diasumsikan ada untuk mengajar anak-anak misionaris, bukan membagikan talenta, visi, dan pengalaman dengan guru nasional atau anak-anak nasional. Sangat sedikit lembaga misi yang mengirimkan gurunya untuk bekerja dengan anak-anak non-Misionaris kecuali guru-guru tersebut terlibat dalam pengajaran bahasa Inggris. Para perintis jemaat tidak dikirim ke sekolah Kristen meskipun mungkin itu adalah tempat yang paling baik untuk merintis jemaat masa depan—jika kita ingin memastikan dalam pikiran bahwa tidak ada yang dpaat dipahami atau diaplikasikan dengan tepat jika tidak berelasi dengan Yesus Kristus dan tujuan-tujuanNya yang terungkap dalam Alkitab.
Visi pendidikan Kristen kita seringkali terbatas pada memelihara mereka yang telah dianugerahi dengan Kekristenan—anak-anak misionaris—meskipun mereka telah memiliki pemahaman di atas rata-rata tentang kebenaran Allah dan dampak yang Ia ingin terjadi dalam hidup anak-anak. Beberapa sekolah misi telah membuka lebar pintu bagi sejumlah besar anak-anak non-misionaris, tetapi motivasinya tampaknya pragmatis, bukan strategis. Para misionaris secara kreatif berusaha membangun relasi dengan komunitas pra-Kristen di sekitar mereka menggunakan segala hal mulai dari dari sepak bola dan kesenian sampai pada bantuan kemanusiaan. Tetapi kesempatan pendidikan seringkali hanya diusahkan ketika focus belajar adalah Akitab sendiri.Tidak menutup kemungkinan guru-guru Kristen professional dapat memotori begitu banyak pemikiran dan praktek bersama guru lain dan juga bersama murid.
Mungkin “Yerusalem” sekolah misionaris adalah organisasi sekolah internasional pemiliknya, para pendidik dan sekolah Kristen nasional, atau bahkan system pendidikan nasional suatu negara. Apakah peserta, bahkan sebagai seorang pengamat, dapat memberikan masukan kepada pemikiran sesama yang sedang bergulat dengan tantangan-tantangan dalam mempersiapkan anak-anak dan para muda memasuki dunia yang berubah dengan sangat cepat dan makin global ini? Di seluruh muka bumi, orang-orang sedang mencoba mereformasi system sekolah mereka. Bukankah adalah sebuah kesempatan untuk memberi kontribusi dengan menunjukkan perbedaan yang dihasilkan dari mengenal Allah pencipta ketika kita mengajarkan penciptaan bagi mereka yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya. Bayangkan dampak yang dapat kita lakukan jika kita membagikan sumber daya yang luar biasa ini dalam orang-orang dan material yang telah diberikan Allah! Menambahkan garam dan terang kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan dengan berinisiatif dan membagikan guru-guru kita bisa menjadi sebuah cara yang luar biasa bahwa orang Kristen memiliki alas an untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting.
Apa yang akan terjadi jika tim perintis gereja termasuk guru? Bagaimana jika mereka bekerja bersama para orang percaya untuk mendirikan sebuah sekolah Kristen local daripada mengirimkan anak-anaknya ke sekolah anak misionaris di suatu tempat? Ketika kita memiliki perintisan gereja yang sukses, siapa yang mengajar anak-anak gereja? Banyak anak-anak perintis gereja masuk ke sekolah untuk anak-anak misionaris. Tetapi bagaimana dengan teman-teman yang mereka tinggalkan? Hal apa yang terkomunikasikan pada mereka? Apakah mereka berpikir mengapa pendidikan Kristen sangat penting bagi anak-anak misionaris, tetapi tidak bagi saya? Apakah anak-anak misionaris adalah satu-satunya yang dapat melayani?
Anak-anak misionaris memiliki kebutuhan khusus karena mereka tidak benar-benar “di rumah” di negara yang dikunjungi dan banyak yang harus kembali ke lingkungan berbahasa Inggris di mana kecakapan akademis penting bagi kesuksesan. Tetapi apakah mereka sangat berbeda dari anak-anak nasional? Tentu saja, anak-anak misionaris perlu memahami Bahasa Inggris, tetapi dia juga perlu memahami bahasa local. Anak-anak local perlu mengetahui bahasa mereka, tetapi juga bahasa Inggris. Anak-anak nasional mungkin tidak punya banyak pilihan kurikulum, sementara anak-anak misionaris memiliki banyak pilihan. Namun, dalam dunia yang makin kecil ini, tidak hanya anak-anak misionaris yang perlu dipersiapkan agar berpikir dan bertindak secara internasional. Gereja di setiap tempat membutuhkan pemimpin yang siap menjadi bagian dari usaha meraih seluruh dunia.
Sekolah sebagai strategi misi
Gerakan misionaris Irlandia mungkin adalah model yang memungkinkan bagi misi abad ke-21.
Salah satu transformasi budaya paling dramatis di sejarah peradaban Barat dicapai oleh guru misionaris yang sederhana dan miskin. Para biarawan Irlandia melakukannya sampai ke Skotlandia, Inggris, dan Benua Eropa. Dan dalam perjalanan mereka mereka meninggalkan warisan iman, pembelajaran, dan tentu saja, peradaban.
Selama berabad-abad antara tahun 550 sampai 1300, banyak biarawan Irlandia meninggalkan tanah mereka dan menyebar ke seluruh Eropa, mengabarkan Injil kepada para kafir yang penuh kekerasan, mengajarkan Firman, sastra dan seni dan sains kepada para raja dan rakyatnya dan mendirikan komunitas biarawan yang melayani sebagai pusat tidak hanya bagai penginjilan dan pemuridan, tetapi bagi pendidikan dan budaya. Pengajaran mereka membawa Firman Tuhan dan peradaban kembali ke Eropa, yang saat itu telah dikuasai dan dihancurkan oleh kaum barbar.
Para cendekiawan Irlandia yang tidak egois dan penuh semangat ini memberikan model yang jelas bagi pembelajaran dan kehidupan yang dinamis di abad ke-21. Mereka menjalankan peran dan mempengaruhi umat Kristiani dengan pendidikan, dalam konteks lintas budaya, ketika mereka melayani sebagai misionaris akademis—mengajar dan melakukan karya akademis di budaya yang bukan milik mereka sendiri. Kekristenan Celtic melakukan banyak kesalahan dan mengalami masalah teologis, dengan pimpinan-pimpinan—dan pengikut—yang tidak sempurna, dan dengan kurangnya pemahaman akan kasih karunia, di antara banyak masalah lainnya. Tetapi para biarawan Irlandia ini memberikan contoh historis yang sangat baik tentang bagaimana para pengikut Kristus yang terdidik sangat cocok menjadi alat Tuhan untuk membawa Firman dan kebenaran Kembali ke dunia kita. (Daryl McCarthy. Hearts and minds aflame for Christ: Medieval Irish monks—a model for dynamic learning and living, 2002,)
Umat Kristen telah memulai banyak sekolah dan universitas, tetapi ketika institusi bergeser dari kebenaran, visi Pendidikan seringkali ditinggalkan. Tetapi gereja dan sekolah sama-sama bergeser! Bagaimanapun juga, Paulus telah bicara mengenai masalah ini dalam surat-suratnya bagi jemaat-jemaat yang ia dirikan. Namun investasinya selama dua tahun di sekolah di Tiranus (Kisah Para Rasul 19:9) adalah fondasi yang kokoh bagi gereja Efesus. Apakah kita telah bergeser dari salah satu senjata paling hebat yang diberikan Allah pada kita untuk “mengacaukan seluruh dunia” (Kisah Para Rasul 17:6)?
Saya yakin alas an utama begitu cepat kita meninggalkan peran kita di pendidikan adalah karena kita telah melihat pendidikan sebagai alat, bukan bagian integral dari misi Kekristenan. Kita sering berasumsi bahwa pemerintah non-Kristend dapat mengajar murid-murid membaca dan lalu tanggung jawab gereja adalah menolong anak-anak untuk membaca materi yang benar—yaitu Alkitab. Hal ini adalah pandangan yang terlalu terbatas dalam praktek dan potensi pendidikan. Sekolah tidak sekedar menjadi alat yang netral yang murid. Sekolah adalah tempat di mana guru dan murid menghabiskan porsi besar hidup mereka bekerja bersama dengan tujuan khusus menyiapkan murid bagi kehidupan ini. Yesus mengetahui bahwa murid tidak begitu saja mendapatkan keahlian atau pengetahuan. Yesus mengatakan bahwa murid akan menjadi seperti guru mereka (Lukas 6:40).
Dalam dua abad terakhir, misi Protestan banyak sekali terlibat dalam sekolah misi di mana tidak ada orang lain mau atau mampu mengajar. Bagaimanapun, jika Alkitab tidak terintegrasi dalam seluruh kurikulum, sangat mudah untuk akhirnya fokus pada Alkitab saja dan membiarkan orang lain mengajarkan yang lain. Terkadang pemerintah menginginkan kendali atas skeolah-sekolah ini, tetapi dengan cepat kita dapat melupakan dampak luar biasa yang dimiliki sekolah misi. Apakah kita ingin meneruskan hanya pelatihan Alkitabiah, sementara orang lain mengajar untuk menghindarkan mereka dari datang pada Kristus? Dapatkah kita secara pasif membiarkan pemikiran mereka tentang dunia yang dicipta oleh Bapa di surga dibentuk oleh mereka yang menolak atau mengabaikan keberadaan-Nya? Apakah Allah memanggil kita untuk membangun kehidupan atau hanya untuk melawan api dan memperbaiki kerusakan?
Saya mengenal ribuan misionaris yang mengajarkan bahasa Inggris. Namun bahkan jika kita masuk kelas, mengajar bahasa seringkali terlihat sebagai cara mengembangkan kontak untuk melakukan pelayanan “yang seungguhnya” di malam hari dan akhir minggu, dan bukan sebagai jalan untuk mempengaruhi pemikiran murid di kelas itu sendiri. Kita harus berhenti berpikir bahwa kelas adalah pintu pelayanan. Kelas adalah tempat pelayanan itu sendiri.
Tempat apa yang paling baik untuk menginvestasikan energi kitadi antara porsi besar dunia yang paling responsif terhadap Injil? Jika sampai 80% orang Kristen di Amerika Utara dan Eropa dating pada Kristus sebelum usia 18 tahun, sangat masuk akal untuk fokus pada anak-anak dan orang muda ketika kita ingin merintis gereja Kristus. Fondasi moral kehidupan paling banyak terjadi pada usia 8 tahun, tetapi kita mudah sekali mengabaikan anak-anak ketika merencanakan perintisan gereja. Dalam 50 tahun terakhir ini ada investasi untuk pelayanan universitas dan kampus sementara kepentingan strategis pendidikan TK-SMA tidak banyak mendapat perhatian. Pelayanan kampus mungkin sudah telat 12 tahun bagi anak-anak yang tidak pernah mencapai bangku kuliah atau telah memiliki pola berpikir dan tingkah laku yang tidak ber-Tuhan. Benar bahwa terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, tetapi jika kita serius ingin membuat perbedaan di dunia kita bagi Kristus, kita perlu mulai lebih awal, tidak terlambat. Mengapa harus menunggu untuk menantang kebohongan dan pengaruh si Jahat lewat guru-guru yang tidak ber-Tuhan? Mengapa tidak menanam jiwa-jiwa muda melalui fondasi yang kokoh dengan mengajarkan mereka kebenaran sedini mungkin?
Tentu saja, tidak ada orang yang bias diajar untuk masuk ke Kerajaan Allah—kita harus terlahir ke dalamnya. Bagaimanapun juga, perlunya mengajar tidak hilang ketika seseorang lahir baru. Beragam guru akan membentuk setiap pemikiran anak kecil—guru itu adalah orang tua, rekan, media, komunitas, atau guru di sekolah, tetapi sangat sedikit orang tua yang melewatkan waktu bersama anak-anaknya sebanyak yang dilakukan guru sekolah. Tentu saja, beberapa orang tidak akan menerima Kristus bahkan jika mereka telah melihat teladan relasi antara Tuhan, Firman Tuhan dan dunia Tuhan. Tetapi hal ini juga benar dalam tiap metode yang kita gunakan. Namun pengaruh guru Kristen yang penuh kuasa tidak dapat diremehkan. Sebuah email dari Pakistan Christian Voice (September 24, 2002) bicara dengan jelas mengenai dampak ini:
Selama banyak generasi, orang Kristen di Pakistan telah mengalami aniaya dari para fanatik Muslim dalam nama Islam. Pemerintahan Presiden Musharraf sangat aktif dalam memberantas terorisme kepada orang Kristen Pakistan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa decade, orang Kristen Pakistan akhirnya menemukan sedikit kelegaan dari terror fundamentalis Muslim. Kami percaya Tuhanlah yang mengangkat Presiden Musharraf untuk saat-saat seperti ini untuk memberantas terorisme terhadap orang Kristen di Pakistan untuk memenuhi tujuan Kristus di tanah kami. Presiden Musharraf sendiri terdidik di sekolah Kristen. Tidak pernah sebelumnya dalam sejarah Pakistan orang-orang Kristen menikmati begitu banyak dukungan dari presiden negara kami.
Sekolah Kristen
Terlalu sering sekolah Kristen tidak terlihat baik di mata gereja di mana orang tua murid menjadi jemaat. Beberapa orang melihat sekolah Kristen sebagai lingkungan yang terlalu melindungi. Orang lain berkata bahwa sekolah-sekolah nasional membutuhkan garam dan terang di dalamnya. Beberapa lagi antusias tentang sekolah Kristen dan dampaknya yang luar biasa ketika orang tua dan staf bekerja bersama untuk membesarkan anak dalam ajaran dan nasehat Tuhan, tetapi seringkali lupa terhadap kebutuhan orang-orang yang belum menjadi bagian dari keluarga Allah. Kita berusaha menarik sebanyak mungkin orang ke adalam gereja dan kelompok mudakita,tetapi kita memiliki kebijakan penerimaan murid di sekolah kita yang membatasi angka murid yang berasal dari keluarga non-Kristen. Apakah hal ini terjadi karena kita mengira bahwa 45 menit Sekolah Minggu atau main skateboar diselingi 15 menit renungan lebih efektif daripada memperkenalkan anak-anak dan remaja kepada Yesus, sang Kebenaran lebih dari 5 jam sehari di kelas?
Sekolah-sekolah Kristen memiliki hak dan tanggung jawab untuk membatasi penerimaan murid dan hanya menerima murid-murid yang tidak berusaha menghancurkan sekolah dan merusak pesannya, tetapi mengapa kita menolak keluarga yang berusaha agar anak mereka diajar oleh guru-guru yang mengenal Kebenaran? Motivasi mereka mungkin salah, tetapi apakah motivasi mereka yang kita undang “ke gereja” benar murni? Kristus sengaja mendatangi para pemungut cukai dan pendosa karena Dia mengetahui—dan mereka mengetahu—bahwa bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. (Markus 2:17)
Orang-orang yang tidak tahulah yang membutuhkan seseorang untuk mengajar mereka—ini sebabnya Allah mengirim Filipus ke padang pasir untuk menjelaskan Firman-Nya kepada seseorang yang tidak memahaminya (Kisah Para Rasul 8:26-39). Kita juga memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan kebenaran di sekolah secara bijak dan penuh kasih karunia.
Saya sangat menyadari bahwa “manusia duniawi,” dan anak-anak “tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani” (1 Korintus 2:14). Namun hal itu benar ketika kita duduk di manapun seperti di bangku sekolah. Kita berdiskusi tentang berapa banyak anak-anak non-misionaris adalah terlalu banyak untuk mempertahankan visi sekolah misionaris kita dan berapa banyak non-Kristen yang diperlukan untuk merusak atmosfer Kristen sekolah kita, tetapi saya tidak pernah mendengar sebuah gereja mendiskusikan pembatasan terhadap orang-orang non-Kristen agar tidak datang ke kebaktian gereja. Seorang pengkhotbah dapat memberi khotbah pada ribuan orang tidak percaya? Apakah satu guru tidak dapat mempengaruhi 20-30 anak? Pendidikan pra-Kristen tidak sama dengan pendidikan Kristen dan kita perlu banyak belajar bagaimana melakukan kedua hal itu secara bersamaan di kelas, tetapi saya yakin bahwa lebih susah melakukan pelayanan pra-Kristen dan Kristen secara bersamaan dari mimbar gereja.
Banyak contoh menunjukkan kuasa sekolah yang dirancang untuk membawa terang dan garam ke dalam komunitas mereka, tetapi saya ingin menceritakan salah satunya. Craiova di Romania memiliki sekelompok orang Kristen yang telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk membawa dampak bagi komunitas mereka untuk Kristus. Mereka mengambil bahan-bahan yang dibawa dari Barat dan membagikannya. Mereka memberi makan orang lapar dan mendirikan pusat untuk memberi makan roti dan makanan bergizi orang yang lapar dan berusaha menghentikan kekerasan antara orang Gipsi dan orang Romania lainnya. Namun beberapa tahun setelahnya mereka memulai sebuah taman kanak-kanak bagi anak-anak para pekerjanya. Tidak lama kemudian orang-orang di sekeliling mereka ingin memasukkan anak-anak mereka pula. Para pelayan Tuhan ini perlahan-lahan merenovasi gudang penyimpanannya menjadi taman kanak-kanak kelas satu, lengkap dengan asrama untuk anak-anak yang rumahnya terlalu jauh. Ketika anak-anak sudah makin besar, jelas sebuah sekolah dasar adalah langkah selanjutnya, dan tiap tahun mereka menambahkan satu jenjang. Sekarang mereka memiliki banyak TK dan SD di gedung-gedung kantor pos Swiss yang sudah direnovasi. Meskipun awalnya “hanya kebetulan,” pendidikan Kristen sekarang adalah cara yang paling efektif di mana mereka paling banyak membuat perrbedaan dalam komunitas mereka. “Setiap orang” dair orang tua sampai politisi di Craiova menyadari perubahan dalam hidup anak-anak mereka.
Sekolah Amanat Agung
Jelas ada banyak potensi masalah di sekolah yang berdedikasi untuk memenuhi amanat agung. Masalah-masalah ini termasuk tekanan yang mungkint erjadi, tidak sensitive budaya, dan tanggung jawab orang tua dan pribadi, tetapi tidak ada cara bebas-masalah bagi orang-orang berdosa untuk berinteraksi di dunia yang sudah bengkok ini. Guru-guru Kristen di sekolah nasional ataupun Kristen dapat menyalahgunakan kekuatan ukuran, umur, kemampuan, dan status, dan tidak berserah pada kuasa Roh Kudus. Tetapi mari kita menghindari kesalahan para rasul dan tidak menghalang-halangi anak-anak datang kepada Yesus (Matius 19:14). Hanya Roh Kudus yang dapat mengubah hidup dan membuat anak-anak dan remaja menjadi orang-orang yang akan mengubah hidup mereka bagi Kristus, tetapi Dia membutuhkan guru-guru yang telah diubahkan yang dapat menjadi teladan dan menyampaikan sudut pandang Allah tentang segala kehidupan dan pembelajaran. Ketika guru Kristen siap mengajar murid mereka bagaimana merelasikan segalanya kepada Dia yang “terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (Kolose 1:17), murid-murid akan menjadi para murid dewasa yang menjadi fondasi kokoh kelahiran jemaat.
Semoga Tuhan membuat tiap kita menjadi guru yang menghasilkan setiap anggota jemaat, termasuk anggota yang paling muda! Semoga kita yakin bahwa Pencipta, Pemelihara dan Penyelamat SEGALANYA, Kepala gereja, adalah pusat hidup, relasi, dan sekolah kita. Semoga kita tidak pernah puas sampai anak-anak dan para muda seluruh dunia diberi kesempatan untuk merelasikan seluruh kehidupan dan pembelajaran pada Kristus dan Alkitab— seperti guru-guru mereka.